Jumat, 30 Maret 2012

Jiwa suci...halau liarnya cinta dunia.





Jiwa adalah salah satu unsur ruhaniah manusia yang sangat menentukan bagi semangat hidup, etos kerja dan kebahagian seseorang. Memang persoalan jiwa didiskusikan para ahli pemikiran Islam terutama soal kekekalan dan kenisbiannya dan kaitannya dengan qalbu atau hati manusia. Namun para pemikir muslim sepakat bahwa jiwa merupakan bagian dari unsur ruhaniyah manusia dan yang akan mengalami dan merasakan azab atau nikmat.

Pentingnya peran unsur dalam (qalbu) manusia disebutkan secara eksplisit dalam sebuah hadits Rasulullah saw, yakni:  “Didalam diri manusia ada mudghah (segumpal daging). Apabila ia baik maka akan baiklah seluruh jasad manusia dan apabila ia buruk maka akan buruklah seluruh jasad manusia. Ketahuilah bahwa itu adalah qalbu” (HR.Bukhari dan Muslim)
Begitupula dengan Firman Allah :
قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا - وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا
“Sungguh beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sungguh merugikan orang yang mengotorinya” (QS.91/al-Syams: :9-10).



Sejalan dengan itu banyak sekali kita saksikan orang yang memiliki semangat kerja, etos kerja dan konsentrasi kerja yang tinggi akibat jiwanya mengalami ketenangan. Karena sesungguhnya peran kekayaan jiwa itu dapat mendongkrak diperolehnya kekayaan materi dan seterusnya hingga diperolehnya kebahagiaan dan keselamatan di akhirat seperti disinyalir dalam S.Al-Fajr :

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ - ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً - فَادْخُلِي فِي عِبَادِي - وَادْخُلِي جَنَّتِي  
Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridai-Nya. Maka masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku”
(QS. 89/al-Fajr:30]




Berdasarkan apa yang dikemukakan di atas, maka kekayaan jiwa merupakan sesuatu yang harus dicari oleh setiap orang yang beriman dengan menggunakan instrumen dan fasilitas material dan rohaniyah yang dimiliki oleh manusia. Namun lebih dahulu kita harus mendiskusikan ciri dan aktualisasi kekayaan jiwa itu dalam kehidupan manusia, diantaranya;

Pertama, kekayaan jiwa terpancar pada sikap kasih sayang dan ramah terhadap sesama manusia, teman kerja, seiman, sekampung, dalam suatu masyarakat dan sebangsa. Orang yang kaya jiwa selalu menunjukkan sikap yang care terhadap siapapun yang ditemui dan menemuinya, hinga ia memiliki jaringan yang kuat yang diwarnai oleh kebaikan dan ketaqwaan. Sebagaimana firman Allah: 

وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ   
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran “ 
(QS. Al-Maidah:2)

Kedua, orang yang kaya jiwa terpancar dalam sikapnya yang selalu berpandangan positif terhadap kesempatan yang diperolehnya, kerja yang menjadi tugasnya dan nasib yang menjadi jalan hidupnya.



Ketiga, kaya jiwa tergambar pada prinsip seseorang bahwa dia harus berpartisipasi dalam membangun peradaban dan kesejahteraan umat manusia. Dia merasa senang kalau ada orang lain yang merasa bahagia karena fasilitas dan bantuannya. Dia bahagia dan merasa berhasil kalau dia menjadi bagian dari penyebab seseorang akan berhasil. Rasulullah saw mengisyaratkan bahwa diantara kebaikan seorang muslim adalah memberhasilkan saudaranya hingga terpenuhi hajat hidupnya. Rasulullah saw bersabda: “ Barang siapa berjalan menemani saudaranya yang muslim dalam rangka memenuhi hajatnya hingga tercapai, Allah swt akan mengokohkan kakinya dihari ketika tergelincir kaki manusia (kiyamat) “ (Sahihul Jami’).
Keempat, orang yang memiliki kekayaan jiwa adalah orang yang tidak putus asa dan kecewa terhadap masalah, tantangan dan bahkan kegagalan yang dialaminya. Tetapi dia menyadari bahwa dibalik kesulitan ada kemudahan, dibalik kesempitan ada kesempatan dan dibalik kegagalan ada keberhasilan, firman Allah swt: 

فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا - إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا  
Sesungguhnya dibalik kesulitan ada kemudahan, sungguh dibalik kesulitan ada kemudahan”  
(QS. Al-Insyirah: 5-6)

Kelima, orang yang memiliki kekayaan jiwa tetap merasa bahwa dirinya mempunyai peluang untuk berbuat dan optimis berhasil. Oleh karenanya dia memiliki motivasi dan etos kerja yang tinggi.



Cinta Dunia membuat manusia menjadi liar.

Abdullah bin Mubarak rah.a berkata, “Cinta kepada dunia dan dosa membuat hati manusia menjadi liar, sehingga kata-kata kebaikan tidak sampai ke hati mereka, yaitu tidak dapat mempengaruhinya.”

Yahya bin Muadz rah.a. berkata, “Tiga jenis manusia cerdik adalah, 
(1) Yang meninggalkan dunia sebelum dunia meninggalkannya, 
(2) Yang membuat persiapan untuk memasuki kubur sebelum tiba masanya memasuki kubur, 
(3) Yang menghasilkan keridhaan Allah sebelum berjumpa dengan-Nya. Beliau juga berkata, “Dunia begitu parah keburukannya sehingga keinginan untuk memperolehnya saja menjadikan kamu sibuk dalam urusan kamu tanpa mempedulikan ketaatanmu kepada Allah. Jika baru keinginan kepada dunia saja sudah menjadikan kamu lalai dari ketaatan kepada Allah, bagaimana yang akan terjadi seandainya kamu benar-benar terperangkap dalam dunia.”

Wahai Amirul Mukminin, hindarkan diri dari dunia dan pada saat gembira pun kita patut menangis. Orang yang percaya kepada dunia, apabila mengalami kegembiraan sedikit saja, sudah pasti dia akan terperangkap dalam musibah. Orang yang mencari kepuasan dunia adalah orang yang tertipu dan orang yang menerima keuntungan di dunia pasti akan mengalami kerugian. Kesenangan di dunia terpaut dengan kesusahan, dan puncak wujud dunia adalah fana.



Perasaan gembira di dunia terlibat dengan kesedihan. Apa yang sudah lepas tidak akan datang lagi, dan apa yang akan datang tidak diketahui bentuk rupanya. Harapan-harapan di dunia adalah palsu dan cita-citanya sia-sia. Yang kelihatan bersih di dunia pada hakikatnya adalah kotor. Kemewahannya merupakan hasil usaha yang keras, manusia senantiasa dalam keadaan bahaya di dunia. 

Jika seseorang mempunyai akal dan berpikir secara mendalam, dia akan memahami bahwa semua kenikmatan dunia adalah berbahaya dan ujung-ujungnya adalah malapetaka. Sekiranya Allah Swt. sang Penciptanya tidak pernah memberitakan keburukan dan keaibannya, namun keadaan penipu itu sendiri sudah cukup untuk membangunkan yang sedang tidur dan menyadarkan yang lalai agar berhati-hati. Padahal Allah Swt. telah memberi peringatan mengenainya dan menasihatinya berkenaan dengan dunia bahwa di sisi-Nya dunia tidak bernilai dan setelah menciptakannya tidak pernah melihat keadaannya dengan pandangan rahmat.”

 Di dalam sebuah hadits Rasulullah saw. mengutip firman Allah Swt. kepada Musa a.s., “Apabila engkau mulai menerima keluasan, maka pahamilah bahwa dia datang sebagai balasan atas suatu kesalahanmu, dan apabila kamu mulai menerima kesempitan, maka katakanlah, ciri-ciri kesalehan sedang mendatangimu.”


Imam Ghazali rah.a. berkata, “Dunia sangat cepat akan berakhir. Ia akan berakhir tidak lama lagi. Walaupun dia berjanji akan kekal, tetapi tidak pernah menepati janjinya dan pasti akan mengingkarinya. Apabila kamu melihat kepadanya, kamu akan merasa dia tetap di satu tempat, walaupun sebenarnya dia sedang bergerak dengan cepat. Tetapi gerakannya tidak dirasakan kecuali ketika dia sudah berakhir. Seumpama benda yang sedang bergerak, tetapi gerakannya tidak dirasakan.”
Suatu ketika di hadapan Hasan Basri rah.a. sedang dibicarakan mengenai dunia, maka beliau berkata,
“Dunia seumpama mimpi orang-orang yang sedang tidur atau seperti bayang-bayang yang sedang bergerak. Orang-orang berakal tidak dapat diperdaya olehnya.”
Imam Hasan r.a. biasanya membaca syair berikut ini,
“Wahai mereka yang menggemari kenikmatan dunia, duniamu tidak akan kekal, terpedaya dengan bayang-bayang yang bergerak adalah kebodohan.”

Yunus bin Ubaid rah.a. berkata, “Aku telah memahamkan hatiku sendiri bahwa dunia diumpamakan seperti seseorang yang sedang tidur sambil bermimpi banyak hal, yang baik dan yang buruk. Tiba-tiba matanya terbuka, maka segala hal yag dia lihat dalam mimpi pun lenyap. Demikianlah manusia di dunia ini sedang tidur dan melihat segala-galanya dalam mimpi, apabila dia meninggal dunia barulah matanya terbuka serta tidak akan melihat lagi keindahan dunia dan tidak juga kesedihannya.” 




Perlu kita renungkan bahwa manusia melalui tiga zaman. Satu adalah ketika alam ini diciptakan sampai waktu dia dilahirkan ke alam dunia. Kedua, zaman setelah dia mati sampai ke zaman yang kekal. Di antara kedua zaman itu ada zaman ketiga, yaitu masa antara dia dilahirkan hingga dia mati. Jangka waktu zaman ketiga ini jika dibandingkan dengan kedua zaman lainnya adalah sangat singkat.

Oleh karena itu Rasulullah saw. pernah bersabda,  
“Apakah kaitan kepentinganku dengan dunia? Yaitu diumpamakan seperti seorang musafir dalam panas terik, lalu melihat sebatang pohon rindang kemudian duduk beristirahat sebentar di bawah pohon itu pada waktu tengah hari. Kemudian meninggalkan pohon itu dan berjalan kembali.” 

Sesungguhnya, jika seseorang melihat dunia seperti pandangan yang diberitahukan oleh Rasulullah saw., maka sudah tentu dia tidak akan bertumpu kepada dunia sedikit pun dan tidak akan memperdulikannya dalam waktu sesingkat itu untuk menghabiskannya dengan kesenangan atau pun penderitaan.  

Setelah semua pembicaraan di atas, ada satu hal yang harus kita pahami dengan baik, apakah dunia itu...? sehingga begitu banyak keburukannya yang telah dinyatakan dalam al Quran dan hadits-hadits Rasulullah SAW.. Perlu dipahami bahwa segala yang berlaku pada manusia sebelum dia mati, hal itu dikatakan dunia. Dan segala yang berlaku setelah dia mati dikatakan akhirat.




Rasulullah saw. bersabda,
 “Bagi setiap umat ada anak lembu (patung berhala atau tuhan palsu) yang mereka sembah. Anak lembu bagi umatku adalah uang (yakni seolah-olah menyembahnya). Anak lembu kaum Musa a.s. pun dibuat dari emas.” 
(Ihya Ulumiddin)

Tidak ada cinta terhadap dunia kecuali cinta terhadap Allah. Kalaupun ada cinta dunia itu semata-mata hanya untuk beribadah kepada Allah. Kita harus mencontoh Rosulullah. Beliau adalah seorang pemimpin yang sangat di cintai umatnya, seorang suami yang menjadi kebanggaan keluarganya, seorang pengusaha sukses yang tidak diperbudak oleh silaunya dunia.  

Dunia adalah segala sesuatu yang membuat kita lupa kepada Allah. misalnya: shalat, puasa, sedekah, tetap di katakannya urusan dunia apabila niatnya ingin di puji orang lain, sehingga hatinya lupa kepada Allah. Sebaliknya jika ada orang yang sibuk siang malam mencari uang untuk di salurkan kepada orang yang lebih membutuhkan, yang disitu tujuannya bukan untuk kepentingan pribadi. Meskipun  disitu aktivitasnya seolah duniawi tapi segala sesuatunya di kerjakan di jalan Allah.


Bagaimana ciri orang yang cinta dunia?
  • Jika ada seseorang yang mencintai sesuatu maka dia akan di perbudak oleh apa yang di cintainya. Jika seseorang sudah cinta dunia maka akan datang berbagai macam penyakit hati. seperti: sombong, iri, serakah dll. Selain itu orang yang merasa tidak puas akan melakukan perbuatan keji untuk mendapatkan apa yang di inginkan. 
  • Ciri lainnya yaitu takut kehilangan. Orang yang mempunyai pangkat atau kedudukan, ia akan merasa takut pangkat atau kedudukannya akan di ambil. Termasuk juga peristiwa akhir-akhir ini mengenai akan dinaikannya harga BBM oleh Pemerintah, sampai ada yag menganiaya diri dan berbuat anarkis dalam berorasi, sepertinya nasib seseorang ditentukan hanya tok "BBM" Oleh sebab itu pecinta dunia yang berlebihan tidak pernah bahagia hidupnya.


 
Rosulullah  adalah seorang pengusaha sukses yang mana harta dunia mudah untuk di dapat, tapi semuanya itu tidak pernah bisa mencuri hatinya. Ingatlah semua yang ada di langit dan bumi adalah titipan Allah semata, kita tidak mempunyai hak apa-apa.
Allah pernah berfirman: “Tidak Aku ciptakan jin dan manusia semata-mata hanya untuk beribadah kepadaKu” Kita harus meyakini bahwa siapapun yang tidak pernah melepaskan dirinya dari kecintaan dunia yang berlebihan. Maka hidupnya akan sengsara. Mengapa? Karena sumber segala fitnah dan kesalahan adalah ketika seseorang begitu mencintai dunia. Kita juga harus tahu bahwa semua yang ada di dunia ini tidak ada yang kekal abadi semuanya akan kembali kepda Allah sang Maha Pencipta. Jangan terlalu cinta dunia yang berlebihan. Kita harus banyak bersyukur atas nikmat yang telah diberi oleh Allah.
Hasrat dipancing keluar dengan produksi aneka barang secara melimpah, dan iklan di media komunikasi kebudayaan (TV), sehingga manusia menjadi tergantung, selalu merasa kekurangan dan berkeinginan terus untuk memenuhinya. Ketergantungan itu semakin menguat pada diri manusia dengan adanya fasilitas atau pusat-pusat perbelanjaan di kota-kota, seperti hypermarket, supermarket atau mall. Bahkan terdapat minimarket, toserda, dan waserda yang tidak saja ada di kota, tetapi merambah sampai pelosok desa. Keberadaan fasilitas perbelanjaan ini, semakin mempermudah pemenuhan hasrat manusia. Hal ini mengakibatkan pikiran dan ruh yang ada pada diri manusia tidak bisa mengatasi tubuh (hasrat). Pikiran dan ruh yang bertendensi menguasai hasrat lewat kearifan, justru sebaliknya dikuasai oleh hasrat. Ruh sebagai sumber spiritual mengalami pendangkalan. Sehingga, manusia menjadikan materi yang mampu memuasakan hasrat sebagai sesuatu yang utama. Budaya komoditas tumbuh pada diri manusia, dan sikap konsumtif sulit dibendung, baik menjadi pelaku langsung maupun dengan meniru dari orang lain yang ada dalam lingkungan masyarakatnya. Keadaan ini mencerminkan perubahan paradigma manusia dalam melihat eksistensi dirinya sendiri sebagai diri individu.




Untuk mengurangi atau meminimalisir sikap mempertontonkan identitas dan status sosial diri manusia (rasa bangga, gengsi), serta sikap konsumerisme (hasrat) yang berlebihan sebagai akibat dari pengarus kapitalisme dan modernis, setiap orang perlu kembali merujuk pada ajaran agama (Islam), dan memahami hakekat diri sebagai manusia. Dengan berpegang teguh pada agama atau memiliki keyakinan keagamaan (iman dan taqwa) yang kuat, hasrat yang ada pada diri akan dapat ditekan (dikendalikan). Hasrat (nafsu) keduniaan yang bersifat konsumtif dapat menghalangi atau mengurangi prinsip atau hakekat (makna) ibadah kepada Allah. Hakekat diri sebagai manusia merupakan pengakuan diri tentang kedudukannya sebagai hamba Allah, dan kedudukannya sebagai pribadi (individu) yang mandiri, bukan menjadi atau meniru orang lain. Dengan demikian setiap manusia sebagai individu diharapkan memiliki kecerdasan intelektual, emosional, sosial, dan spiritual dalam mejalankan hidup dan kehidupannya. Sehingga hidup menjadi bermakna (berkualitas), baik di dunia maupun kelak di akherat.



 
Akhirnya sebagai kata penutup......Hidup tidak lepas dari ujian keimanan. Jika berhasil melewati ujian-ujian dari Allah SWT. tersebut akan membuktikan bahwa iman benar-benar terhunjam di dalam dada. Selain itu, cobaan juga sebagai tanda kasih sayang Allah, karena dibalik cobaan terdapat hikmah yang sangat besar. Maka oleh sebab itu seorang mukmin yang mengalami ujian tidak boleh larut dalam kesedihan. Tidak selamanya ujian bersifat kesusahan dan kesengsaraan, akan tetapi kesenangan juga merupakan ujian yang diberikan kepada manusia dan inilah yang paling dikhawatirkan Nabi terhadap umatnya. Semoga Allah memberikan kepada kekuatan iman dalam menghadapi cobaan demi kehidupan yang lebih baik dimasa-masa akan datang. Amin.......